Thursday, January 19, 2006

Cara menyupir = intelektualitas?

Hasil riset Reader’s Digest Asia menyatakan, hal teratas yang paling membuat orang-orang di kawasan Asia merasa terganggu dan kesal adalah pengendara kendaraan bermotor yang selebor, tidak tahu aturan. Sebagai warga Jakarta yang tiap hari terjebak macet dan lalu lintas ga beraturan tiap pagi dan sore, gue setuju dengan hasil riset ini. Ada aja yang bikin kesel, motor salip kanan kiri, sopir bus berhenti kemudia belok seenak jidat, sampe sesama pengendara mobil.

Gue pernah membuat teori asal tentang kesemrawutan ini. Teori gue menyatakan, cara berkendara seorang pengendara kendaraan bermotor mencerminkan intelektualitas dan pendidikan orang tersebut. Makanya suka muncul kata-kata kaya gini “Iiih mobil bagus-bagus nyupirnya sembarangan”, ga pernah kan ada komentar kaya gini “Iihh bus bagus-bagus nyupirnya sembarangan”, paling kita udah maklum dan cuma bisa ngomong “Aaarrghh dasar bus! Maen berhenti aja sembarangan” [Kecuali untuk Busway mungkin =D] . Gak, gue ga underestimate supir bus atau kendaraan umum lainnya, gue ga men-judge mereka atau gimana, kesempatan aja yang mungkin belum mampir ke mereka. Makanya gue paling kesel kalo ada mobil bagus, yang nyupir rapih, cantik atau ganteng, tapi nyupirnya keras kepala, ga mau kalah. Kayaknya ga pantes aja jadinya. Jomplang. Mending mobilnya dikasih ke sopir bajaj sekalian :) hehehehe

Suatu waktu, pas gue ke Cirebon, gue merasa teori asal gue itu bener-bener asal, dan runtuh begitu aja. Di daerah yang notabene bukan ibukota kaya Jakarta dan kesempatan pendidikannya mungkin ga sebebas di Jakarta, ternyata malahan lebih beradab dan “berpendidikan”. Yang terlihat bukan lagi intelektualitas di mata gue, yang ada cuma persaudaraan, saling mengalah dan menghormati. Bagi yang belum pernah ke Cirebon, waktu gue ke Cirebon dulu, mayoritas orang memilih becak sebagai alat transportasi. Becak tersedia dimana-mana. Lengkap dengan klakson dari klencengan persis kaya di leher sapi. Begitu klakson dibunyiin, yang laen saling ngalah, entah itu mobil, pejalan kaki, atau becak lainnya. Ajaib banget kan, kalo di Jakarta sih mungkin tuh becak udah digiles sama truk karena kesel [Ok, mungkin ga segitunya yah :) ]. Jadilah keliling kota naik becak, tukang becaknya kuat-kuat, jaraknya jauh banget tapi mereka enjoy nge-genjot. Pokoknya cukup menyenangkan deh. Tapi itu udah lebih dari 5 tahun yang lalu sih, jadi cerita gue ini ga bisa dijadiin fakta yang akurat juga :) .

Jadi sebenernya apa yah yang membuat pengguna jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya menjengkelkan? Mungkin persaingan dan ketatnya waktu di kota besar yang membuat orang-orangnya jadi lebih egois, buru-buru dan kehilangan sense of humanity-nya. Semua dijalanin dengan ngotot, ambisi, nafsu. Semua berasa kepentingan dirinya yang paling penting dan patut di dahulukan, menjalani hidupnya udah ga pake “rasa”. Kaya robot. Kayaknya kadang kita lupa, kalo kita sama-sama manusia. Yang harusnya saling menyayangi. Bukan saling membenci.