Sunday, March 26, 2006

Percakapan Hati

Chika dan Adhist membaringkan tubuhnya di atap apartment Chika sambil menatap langit. Weekend ini, Chika agak malas menghabiskannya dengan Bejo, jadi ia memutuskan untuk menginap di apartment Adhist, toh Adhist jomblo, jadi ia tidak akan mengganggu acara malam minggunya. Mereka berbaring terlentang, hanya beralaskan kursi malas dengan busa tipis seadanya. Mereka berdua memandangi langit, tenggelam dalam lamunan dan pikirannya masing-masing, kemudian Chika memulai pembicaraan.

"Kira-kira, dari atas sana, Allah melihat diri gue sebagai apa yah?"

"Maksud lo?"

"Iyah, sebagai apa. Allah menakdirkan gue lahir sebagai manusia, yang sebelum lahir ke dunia ini, gue diambil sumpah bahwa gue beriman hanya kepada-Nya. Tapi, selama ini gue berikrar bahwa gue beriman kepada-Nya, apakah Ia juga mengakui gue sebagai umat-Nya?"

"Hmmm.. Dunno... Berusaha aja Chik, berdoa.... Tawakal..."

"Yes, I know... I’m just curious... Apakah bagi-Nya, gue terlihat sebagai setitik debu yang berusaha menggapai sinar-Nya, ataukah hanya setitik debu yang bahkan tidak terlihat olehNya..."

"Iya yah... Gue juga ga tau diri gue ini apa..." Adhist bergumam, mencoba menelaah pertanyaan Chika.

"Gue tuh takut banget, gue takut timbangan gue berat ke kiri, bukan ke kanan. Gue takut, akan adzab Allah yang akan menimpa gue. Gue takut."

"Itu sudah hak Allah... Lo ga berhak untuk menilai dan memutuskan sendiri. Boleh jadi hal yang lo anggep baik, ternyata ga baik di mata Allah. Itu hak Allah... Kita tidak berhak menilai seseorang, termasuk diri kita sendiri. Kita hanya bisa pasrah dan berdoa, memohon, agar kita termasuk golongan orang-orang yang mendapat ampunanNya."

"Tapi kan, terlalu percaya diri atas ampunan Allah ga baik juga. Nanti kita seenak-enaknya dalam hidup, mikirnya tobat toh bisa nanti-nanti aja."

"Iyah gue tau.. Rasa was-was dan merasa “kecil” di hadapan Allah memang perlu. Tapi kita harus selalu berbaik sangka kepada Allah SWT. Pasrah, hilangkan diri, berusaha timbulkan suara hati. Kalau hati was-was, dzikir obatnya..." Adhist mencoba menenangkan gundah hati sahabatnya.

"Gue tuh selalu mikir, apa yang gue sudah lakukan selama ini, kayaknya ga pernah bermanfaat buat orang lain, hanya diri sendiri. Hidup gue hanya buat diri gue sendiri, paling banter keluarga gue. Kayaknya tiap detik hidup gue, hanya ada dosa dan melupakan diriNya. Kaya sekarang, ilmu yang Allah titipkan di dalam tubuh gue ini aja, gue ga bisa salurkan ke orang lain. Gue ga jadi dosen, gue ga bikin suatu aplikasi dari ilmu gue yang bermanfaat bagi orang lain, nothing, a big null. I’m just a big looser. Sementara setiap detiknya, dosa dan kealpaan gue pasti bertambah. Solat gue bolong-bolong, ngaji gue jarang."

"Belum aja kali. Semua ada waktunya, ada rejekinya. Lo hanya harus bersabar. Kalo sudah tiba saatnya, akan ada peluang untuk meneruskan ilmu yang ada di dalam tubuh lo... Sabar.. Berbaik sangka dong dengan keputusan Allah.. :) " Adhist tersenyum...

"Kalo masalah solat dan ngaji, lo aja yang males.. Hahahaha." Adhist menggoda sahabatnya, mencoba membuatnya sedikit tersenyum.

Chika membalas senyumannya, dengan sedikit terpaksa... Hatinya masih terasa gundah...

"Iyah.. I know... Kadang tuh dalam diri gue timbul keinginan yang sangaaaat kuat untuk berubah. Gue pengen lebih rajin solat, lebih sering ngaji, lebih berusaha untuk mendekatkan diri kepadaNya. Gue ingin dekat, gue ingin merasa setiap saat gue mencintaiNya dan gak pernah ada rasa keraguan ataupun kehilangan cinta kepadaNya. Gue pengen rasa itu konstan ada di hati gue. "

"Wajarlah, kalo ada suatu masa, lo merasa iman lo lagi berkurang... Kata orang, iman itu memang naik turun Chik... Makanya mohon kepadaNya... Di saat-saat seperti ini harusnya lo merasa, betapa gak berdayanya diri lo... Bahkan untuk menyuruh hati lo untuk tetap ingat kepadaNya aja ga bisa... Harusnya berasa kan, yang Maha Suci itu hanya Allah SWT.... Tapi syariat ga boleh naik turun, itu wajib :) hehehehe... "

Chika terdiam... Omongan Adhist ada benarnya... Bahkan hati dan rasa yang ia akui milik dirinya, ternyata bukan miliknya... Ia tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri... Ia pasrah....

"Gue pengen deh ikut perkumpulan remaja Islam yuk di mesjid, ikut pengajian... Ikutan yuk Dhist... "

"Ayook sih gue... gue juga pengen banget dari dulu... Tapi ga ada temennya... :D hehehee"

"Iyah, gue juga dari dulu pengen... Itu juga sih sebenernya yang mengganjal dalam hati gue. Kenapa yah gue kaya begini... Untuk ikutan kegiatan gitu aja gue ga berani sendirian, padahal gue berani ke mall sendirian, beli buku sendirian atau ngapain gitu... Padahal gue hanya menghabiskan waktu gue untuk hal yang gak berguna... Sedangkan untuk ikut remaja mesjid, gue malu sendirian... Kayaknya setan bener-bener sudah menipu daya diri gue. Di saat gue mau melakukan hal yang bener, setan membuat diri gue was-was dan malu-malu..."

"Iyah, lo ada benernya.... Betapa kita ga kuasa akan diri kita sendiri yah Chik..."

"Emang... Bener banget.... Padahal kalo kita mati nanti, kan kita sendiri. Dan akan dimintai pertanggung jawabannya sendiri. Gak akan ada orang yang mampu membantu kita, kecuali ampunan dan ridho Allah SWT dan juga syafaat dari Rosulullah SAW. Tapi gimana Rosul mau membantu kita, kalo ia tidak mengenali kita sebagai umatnya. Kalau kita tidak pernah mengirimkan salam kepada beliau."

Keduanya terdiam. Tersadar akan kekerdilan dirinya masing-masing. Betapa besarnya Allah SWT dan betapa kecilnya diri mereka.

"Kalo gue bertaubat sama Allah, kira-kira Allah menerima taubat gue ga yah Dhist? "

"Allah itu kan Maha Pemberi dan Penerima Taubat. Insya Allah, Ia akan menerima taubat lo yang sebenar-benarnya. Asal jangan diulangi lagi dan lo harus menjauhkan diri dari hal-hal yang membuat lo melakukan dosa lagi."

"Iyah. Sebenernya, dalam hati gue udah tau jawabannya. Gue tau Allah Maha Pemberi dan Penerima Taubat. Gue nya aja nih. Duuh.. Bener-bener deh, gue kesel sama diri gue sendiri..."

"Hahahahahahahahaa... Chika, omongan lo daritadi muter-muter tau ga sih. Tadi kan udah kita bahas, kita tuh ga bisa punya kontrol terhadap diri kita sendiri. Kita hanya bisa memohon, agar jalan yang kita tempuh itu, jalan yang Ia ridhoi."

"Hehehehe iya yah... Sebenernya gue udah tau jawabannya dalam hati gue, hati itu sudah memberi tahu yang Hak dan yang Batil. Tapi kita manusia, kadang tidak mau mendengarkan hati. Memilih untuk menutup hati, dan menggunakan indra. Padahal Allah hanya dapat dicapai, dengan hati.
Kita perbaiki diri yuk Dhist. Mulai sekarang kita harus jadi manusia yang lebih baik. Supaya Allah melihat kita sebagai debu yang sedang mencari cahaya Nya, dan dibimbing menuju cahaya Nya. "

"Amiin... " Bersamaan mereka berdua mengamini perkataan Chika...

Ya.. Mulai sekarang, kita harus menjadi lebih baik lagi.. Lebih cinta lagi, kepada yang Maha Abadi, Maha Besar, Maha Suci... Allah SWT...

*Ya Muqolibal Qulub. Sabit qulbi ala diynika.

Ya Allah yang Maha Membolak Balikkan hati. Tetapkanlah hatiku dalam agamaMu.

Amiin...

[Allah SWT itu bukan nama, bukan benda namun Ia nyata. Hanya dapat diraih oleh hati orang-orang beriman, yang telah melihat cahayaNya]