Tuesday, November 29, 2005

HIDUP atau MATI

Aku bangun pagi-pagi, tidak ingin merasa kalah oleh matahari. Kugerakkan tubuhku ke kanan dan kiri, agar fisikku kuat untuk melewati hari ini. Hari ini seperti hari-hari yang lain, akan menjadi hari yang panjang, penuh resiko dan rintangan. Seperti mahluk hidup lainnya yang harus mencari nafkah setiap hari, akupun begitu, aku harus mencari nafkah untuk keluargaku; istriku dan kelima anakku. Hari ini kami akan mencari makan di tempat yang baru, salah satu saudaraku berkata ada sebuah tempat baru yang dimana disana terdapat makanan berlimpah, kesanalah kami akan mencoba mencari makanan.

Jikalau yang lain mencari nafkah untuk membuncitkan perutnya, memperbesar istananya, memperbanyak kendaraan pribadinya dengan resiko yang bisa dibilang kecil, lain halnya dengan diriku dan saudara-saudaraku, setiap harinya kami harus mencari nafkah dengan mempertaruhkan nyawa kami, setiap perjalanan hanya memiliki dua resiko pasti, HIDUP atau MATI. Namun dahulu, ada suatu zaman dimana leluhur kami mendapat perlindungan. Dahulu kala, zaman Nabi Sulaiman berkuasa.

Seringkali aku mendengar, orang yang kadang mengeluh tentang pekerjaannya, entah karena bosan, merasa penghasilannya kurang ataupun pekerjaannya dinilai kurang menantang – mereka harus mencoba bekerja setiap hari seperti diriku, diantara HIDUP dan MATI, baru mereka akan mensyukuri nikmat yang Allah SWT berikan kepada mereka -. Pernah aku mendengar percakapan antara rekan kerja seperti ini.

“Huuuuh... BBM akan naik minggu depan, hampir dua kali lipat! Kita harus minta kenaikan gaji, kalau tidak bagaimana kita akan ke kantor setiap hari. Makanan dan bahan pokok pasti akan melambung tinggi. Sudah susah, semakin susah kita dibuatnya...”

“Betul sekali... Mana istriku minta uang belanja lebih, katanya bahan-bahan pokok sudah mulai naik karena issue kenaikan BBM tersebut.. Pusing aku”

“Iya... habis jatah kita untuk bersenang-senang...”

Dan seribu keluhan lainnya yang sering dilontarkan oleh mereka. Aku tak habis pikir, mereka seringkali mengeluh, padahal dari sudut pandangku sungguhlah mereka mahluk paling beruntung dan tinggi derajatnya di muka bumi ini.

Aku sudah siap, begitu pula dengan rombonganku, sebagai seorang pemimping, pastilah aku harus siap lebih dulu dan memeriksa kelengkapan anggotaku. Aku mencari istriku, berpamitan padanya.

“Wahai istriku, aku hendak pergi mencari nafkah untukmu, sekiranya aku tidak dapat kembali, jagalah dirimu dan anak-anak kita. Semoga Allah SWT melindungi kalian semua. Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarokatuh*”

“Janganlah bicara seperti itu suamiku, mohonlah kepada Allah agar engkau dilindungi olehNya. Namun aku akan menjalankan amanahmu, insya Allah akan kujaga keluarga kita. Wa’alaikumsalam warahmatullohi wabarokatuh”

Dan pergilah aku dengan restu istriku.

-------

Di dalam perjalanan, aku sudah merasakan kami akan sampai di tempat tujuan. Namun tiba-tiba rintangan menghadang, segera kusuruh pasukanku untuk menepi.

“Wahai pasukaaaan... Ada musuh di depan, segeralah menepi ke pinggir sebelah kanan, bersembunyilah sejenak dibalik kayu-kayu itu, tetaplah bersama rombongan, jangan tercerai berai, gandenglah kawanmuuu...”

“Baik komandaaaaaaaan...” Seru mereka dan segera menepi.

Setelah orang-orang itu berlalu, barulah aku kembali memerintahkan pasukanku untuk kembali berjalan. Tidak lama kemudian, kami melihat tempat baru tersebut. Subhanallah ** indahnya, begitu besar, putih dan gemperlapan, Maha Suci Allah yang menciptakan rahmat begitu banyak. Kami bergegas menuju tempat tersebut, mengambil makanan sebanyak yang dapat kami bawa, kami bekerja sama, bergotong royong, saling bahu membahu mengambil makanan tersebut dan membawanya. Kami berharap bahwa kami memilki banyak waktu, sebelum orang-orang itu datang kembali, karena kami tahu, jikalau mereka kembali, salah satu dari kami akan mati.

Setelah dinilai cukup dan tidak dapat kami tampung lagi, kami segera bersiap-siap untuk kembali. Hari sudah menjelang petang, kami tahu pastilah keluarga kami menunggu dengan cemas di rumah. Mudah-mudahan Allah melindungi kami dan kami selamat sampai di tujuan.

“Assalamualaikum” Tak lupa aku memberi salam.

Betapa gembiranya diriku karena telah sampai di perkampunganku, dan yang lebih menggembirakan lagi, pasukanku semuanya selamat, tidak kurang satu apapun. Dan kami membawa makanan yang sangat banyak, nafkah untuk keluarga di rumah.

“Waalaikumsalam”

Seantero desa menyambut kami, keluar dari peraduannya, menghentikan aktifitasnya, memeriksa apakah anggota keluarga mereka masih kembali kali ini. Alangkah bahagianya aku melihat istriku dan anak-anakku, kami berpelukan, saling mengucap salam dan syukur karena kami masih dapat bertemu lagi.

“Ayaaaaah...” seru anak bungsuku. “Aku senang ayah kembali.”
“Alhamdulillah nak, ayah masih diijinkan untuk bertemu dengan kalian lagi”
“Mari ayah, kami bantu membawakan barang-barang ayah...” Lalu anak-anakku berlomba-lomba membantu membawakan barang-barangku.

Malamnya kami menyantap hidangan dengan nikmat, sebelumnya kami berdoa bersama terlebih dahulu.

“Ya Allah...
Terima kasih atas rahmat dan rezeki yang Kau limpahkan pada kami
Terima kasih telah memberi izin kepada kami untuk berkumpul kembali lagi
Jadikanlah makanan yang kami makan ini, menjadi alat untuk kami
Menambah rasa syukur dan tunduk kami kepadaMu..
Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…
Amiin..”

Begitulah kisahku hari ini. Pencarian nafkahku setiap hari antara HIDUP dan MATI, karena aku hanyalah seekor semut kecil. Andaikan manusia mengerti, begitu banyak rahmat yang Allah berikan kepada mereka, namun sedikit dari mereka yang bersykur. Semoga ceritaku ini, dapat menjadi bahan untuk mulai bersyukur. Amiin...

- si semut kecil -

* Keselamatan dan Rahmat dan Berkah Allah semoga tetap bagi kamu semua.
** Maha Suci Allah.